MAKALAH TEORI KONSELING
|
Teori Behavioral
|
Diajukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Teori Konseling, Semester
III, Tahun Akademik 2013/2014, Dosen Pembimbing : Dra. Wahyu Murti Utami,
M.Pd
|
|
Disusun oleh : Setyo Wiyono (12012062)
|
Siti Rubiyatun (12012063)
Sri Supriyatmi (12012064)
Sumaryani (12012065)
PPB/R2
IKIP PGRI WATES KULON PROGO
Jln.. KRT. Kertodiningrat, No. 5
Margosari, Pengasih, Kulon ProgoD. I. Yogyakarta Telp. 77328 Wates
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan yang
berkualitas bukan hanya dilihat dari sejauh mana proses pengajarannya saja,
Yusuf&Juntika (2005:5) memaparkan ada tiga bidang pendidikan yang harus
menjadi perhatian, diantaranya :
1.
Bidang
administrative dan kepemimpinan,
2.
Bidang Intruksional
dan kurikuler,
3.
Bidang pembinaan
siswa (Bimbingan dan Konseling).
Terkait dengan masalah bimbingan dan konseling, terdapat
banyak ragam teori dan pendekatan dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling, salah satunya adalah teori konseling Behavioral, yang akan coba kami
kupas satu persatu sehingga akan tampak sedikit kejelasan, dengan harapan
kupasan materi yang kami sajikan bermanfaat bagi kita semua yang bergerak dalam
dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang
dimaksud dengan Teori Behavioral?
2.
Bagaimana proses
konseling Behavioral?
3.
Apakah tujuan
konseling Behavioral?
4.
Bagaimana proses
atau tahap dari bimbingan konseling menggunakan teori behavioral?
C.
Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini selain untuk memenuhi tugas dari dosen, juga
memiliki tujuan sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui pengertian teori
konseling Behavioral.
2.
Untuk mengetahui proses konselig Behavioral.
3.
Untuk mengetahui tujuan konseling
Behavioral.
4.
Untuk mengetahui proses atau tahap dari bimbingan konseling menggunakan
teori behavioral.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori konseling Behavioral adalah bentuk adaptasi dari aliran psikologi
Behavioralistik.
Menurut Krumboltz& Thoresen (Surya, 1988:187)
konseling Behavioralal adalah suatu proses membantu orang untuk belajar
memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu.
Muhamad Surya (1988:186) memaparkan bahwa dalam konsep
behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah
dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.
Hal mendasar dalam
konseling behavioral adalah penggunaan konsep-konsep behaviorisme pada
pelaksanaan konseling.
B.
Hakikat Manusia
pada Konseling Behavioral
Menurut teori ini,
manusia memiliki potensi segala jenis perilaku,
mampu mengkonsepsi dan mengendalikan perilakunya, mampu memperoleh perilaku
baru, dan dapat mempengaruhi dan / atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Kepribadian manusia sesungguhnya merupakan pengalaman seseorang sebagai akibat
dari proses belajar dari lingkungannya. Manusia memulai kehidupannya dengan
bereaksi terhadap lingkungan, berinteraksi dengan lingkungan. Dari
pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan inilah akan menghasilkan pola-pola
perilaku, yang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima
dalam situasi hidupnya. Pola-pola perilaku ini kemudian akan membentuk
kepribadian manusia. Pengaruh yang paling kuat, maka itulah yang akan membentuk
pribadi individu.
C.
Proses dan Tujuan
Konseling Behavioral
1.
Proses Konseling
Behavioral
Proses konseling
behavioral dibangun berdasarkan empat pilar, yaitu sebagi berikut.
a.
Proses terapi diarahkan pada memformulasikan tujuan
secara spesifik, jelas, konkrit, dimengerti, dan dapat diterima konseli maupun
konselor.
b.
Peran dan fungsi konselor mengembangkan keterampilan
menyimpulkan, merefleksi, mengklarifikasi, membuka dan menutup pertanyaan.
c.
Kesadaran konseli dan partisipasi konselor ketika proses
terapi berlangsung akan memberikan pengalaman positif pada konseli
d.
Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada konseli,
karena kerja sama antara konselor dengan konseli, dan harapan positif dari
konseli akan membuat hubungan terapi menjadi lebih efektif.
Dalam proses konseling behavioral, konseli diberikan
peluang seluas-luasnya, terlibat dan berperan secara aktif dalam menentukan
tindakan-tindakan yang akan dilakukannya secara spesifik, penekanannya pada
upaya membimbing konseli untuk terampil memanajemen diri. Target perubahan
terletak pada perilaku nyata konseli (over behavior) dan perilaku
terselubung (covert behavior), identifikasi masalah, dan perubahan yang terjadi.
Proses
konseling diawali dengan mengembangkan kehangatan, empati, dan hubungan
suportif antara koselor dengan konseli. Proses konseling membatasi perilaku
sebagai interaksi antara faktor bawaan dengan lingkungan. Perilaku bermasalah
merupakan hasil dari proses belajar individu terhadap lingkungannya, sehingga
konseling behavioral merupakan suatu proses atau pengalaman belajar untuk
mengubah perilaku konseli dengan cara memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi belajar. Kriteria keberhasilan konseling diukur dari perubahan
perilaku konseli, sehingga perhatian konselor adalah pada perilaku yang tampak,
yang dapat diamati.
2.
Tujuan Konseli Behavioral
Tujuan konseling
dengan pendekatan behavioral adalah membantu konseli membuat pilihan dan
situasi baru untuk proses belajar.
Konseli dengan
dibantu konselor menetapkan tujuannya sendiri secara spesifik. Konselor
berperan menjadi guru, pengarah, dan konsultan ahli yang membantu konseli
mendiagnosis dan melakukan teknik-teknik modifikasi perilaku dan membantu
konseli fokus pada tujuan yang telah ditetapkan, yang bermuara pada perubahan
tingkah laku yang baru dan adjustif. Konselor harus dapat menjadi model bagi
konseli, karena salah satu hal mendasar dalam pendekatan konseling behavioral
ini adalah bagaimana konseli belajar perilaku baru dengan imitasi.
D.
Tahap-tahap konseling Behavioral
Konseling
behavioral dilakukan dengan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang
dilakukan secara sengaja dan khusus untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan
yang disepakati bersama antara konseli dengan konselor. Terdapat empat kategori
prosedur belajar dalam konseling behavioral, yaitu:
1.
Operant Learning
Teori ini memfokuskan pada adanya penguatan terhadap diri
konseli. Konselor diharapkan dapat memanfaatkan situasi diluar konseli untuk
memperkuat perilaku konseli yang dikehendaki, sehingga dapat menentukan saat
yang tepat untuk memberikan penguatan pada konseli. Dalam menerapkan penguatan
ini ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu:
a.
penguatan yang di terapkan hendaknya memiliki cukup
kemungkinan untuk mendorong konseli.
b.
penguatan
hendaknya dilaksanakan secara sistematis.
c.
konselor harus
mengetahui kapan dan bagaimana memberikan penguatan.
d.
konselor harus
dapat merancang perilaku yang memerlukan penguatan.
2.
Imitative Learning atau Social
Learning
Prosedur Imitative Learning atau Social Learning merupakan prosedur
belajar dengan contoh model. Prosedur ini dilakukan dengan cara memberikan
respon baru melalui model–model perilaku yang diinginkan sehingga dapat
dilakukan oleh konseli. Prosedur belajar ini bertolak dari pendapat Bandura
tentang tiga sistem terpisah namun merupakan sistem pengatur yang saling
berkaitan, tiga aspek tersebut adalah:
a.
peristiwa stimulus eksternal.
b.
penguat eksternal
c.
proses perantara kognitif. Dalam pelaksanaan prosedur ini
konselor merancang suatu perilaku adaptif yang dapat dijadikan model oleh
konseli, sehingga konseli mendapatkan perilaku-perilaku yang baru.
3.
Cognitive Learning
Prosedur Cognitive Learning ini merupakan
metode pengajaran secara verbal, kontak antara konselor dengan klien, dan
bermain peran. Prosedur ini terdiri atas persuasi dan argumentasi yang
diarahkan kepada perubahan-perubahan ide yang tidak rasional. Konseling
kognitif khususnya diarahkan untuk memunculkan kesalahan-kesalahan atau
kesesatan-kesesatan di dalam berpikir. Tujuan utama prosedur belajar ini
adalah:
a.
membangkitkan pikiran-pikiran konseli, dialog internal
atau bicara diri (self talk), dan interpretasi terhadap kehadian-kejadian yang
dialami
b.
konselor bersama konseli mengumpulkan bukti yang
mendukung atau menyanggah interpretasi-interpretasi yang telah diambil
c.
menyusun dengan eksperimen (pekerjaan rumah) untuk
menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi
didalam proses perlakuan konseling.
4.
Emotional
Learning
Prosedur Emotional Learning ini dipergunakan
untuk mengganti respon–respon emosional konseli yang tidak dapat diterima
menjadi respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical
conditioning. Teori behavioral berasumsi bahwa perilaku konseli adalah hasil
pengkondisian yang dilakukan konselor. Oleh karena itu, konselor dalam proses
konseling harus beranggapan bahwa setiap reaksi konseli adalah akibat dari
situasi (stimulus) yang diberikannya. Prosedur belajar ini dapat diterapkan
pada konseli yang mengalami kecemasan. Pelaksanaannya dilakukan dalam situasi
rileks dengan menghadirkan rangsangan yang menimbulkan kecemasan bersama suatu
rangsangan yang menyenangkan.
E.
Tehnik-tehnik Konseling Behavioral
1. Disensitisasi Sistematis
Teknik ini
didasarkan pada prisnsip classical conditioning. Teknik desensitiasi
sistematis digunakan untuk menurunkan kecemasan dengan cara
menggantikan kecemasan tersebut melalui respon alternatif yang berlawanan
dengan teknik relaksasi yang berdasarkan pada imagery atau Imagery Based
Techniques. Teknik desensitisasi sangat tepat digunakan pada reaksi
cemas yang tidak realistis.
2.
Latihan Asertif
Latihan asertif
merupakan teknik teknik konseling behavioral dengan menggunakan model-model
pola tingkah laku. Teknik ini bertujuan untuk melatih konseli yang tidak mampu
mengekspresikan kemarahan, perasaan tersinggung, kesulitan untuk menyatakan
“tidak”, kesulitan mengekspresikan perasaan dan respon positif, dan konseli
yang memiliki phobia sosial. Cara yang digunakan adalah bermain peran dengan
bimbingan konselor dan diskusi kelompok.
3.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dipergunakan
untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dengan cara menyajikan
stimulus yang tidak menyenangkan secara bersamaan, sehingga perilaku yang tidak
diinginkan tidak akan muncul. Stimulus yang tidak menyenangkan dapat berupa
hukuman atau sesuatu yang membuat konseli tidak nyaman atau menolak. Modifikasi
perilaku ini dapat dilakukan pada perilaku maladaptif, seperti merokok,
penggunaan narkoba, penyimpangan seksual, atau obsesi kompulsif lainnya.
4.
Pembentukan Perilaku Model
Pembentukan perilaku
model juga berarti belajar dengan mengamati menirukan, dan belajar sosialisasi.
Modeling digunakan untuk pembentukan perilaku baru, mempertahankan perilaku
yang ada, atau untuk memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Konselor
berfungsi sebagai penunjuk perilaku model yang harus ditiru. Perilaku model ini
dapat mempergunakan audio-visual, model hidup, atau model-model lain yang
perilakunya dapat dicontoh. Konseli diberikan reinforcement jika dapat meniru
perilaku model tersebut.
5.
Manajemen diri
Dalam pendekatan
behavioral, konseli memiliki peran langsung dalam treatment. Konseli memiliki
keputusan secara spesifik atas perilaku yang ingin dikontrol atau diubah.
Tahap-tahap menajemen diri terdiri dari
a.
penyaringan sasaran
b.
menerjemahkan sasaran menjadi perilaku yang diinginkan
c.
memantau perkembangan diri sendiri
d.
menyelesaikan rencana perubahan. Plus metode penguatan
diri sendiri dan motivasi secara pribadi yang sangat mendukung keberhasilan
proses konseling.
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
Hal yang menjadi fokus perhatian utama aliran
behavioristik atau behavioral adalah perilaku / aktivitas yang nampak dari
seorang individu. Aliran behavioristik muncul menjadi gagasan baru sebagai
bentuk ketidakpuasan terhadap aliran psikoanalisis.
Hakikat manusia memiliki potensi
segala jenis perilaku, mampu mengkonsepsi dan mengendalikan perilakunya, mampu
memperoleh perilaku baru, dan dapat mempengaruhi dan / atau dipengaruhi oleh
perilaku orang lain.
Proses konseling diawali dengan mengembangkan kehangatan,
empati, dan hubungan suportif antara koselor dengan konseli.
Tujuan konseling
dengan pendekatan behavioral adalah membantu konseli membuat pilihan dan
situasi baru untuk proses belajar.
DAFTAR PUSTAKA
No comments:
Post a Comment